Senin, 08 April 2013

Waspadai Jeratan Gurita Bank!


Waspadai Jeratan Gurita Bank!

Bapak A ingin membangun rumah, namun dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli materialnya. Lalu, dia pun meminjam ke bank untuk membangun rumah.
Bapak B ingin memulai usaha yang membutuhkan modal banyak, maka dia pun meminjam uang di bank. Sedangkan Bapak C terkena musibah, anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit sehingga membutuhkan biaya yang tinggi, maka dia pun lari ke bank untuk meminjan uang.
Gambaran di atas adalah sekelumit gambaran keadaan seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Terkadang, seseorang dihadang kebutuhan mendadak yang harus segera ditunaikan, namun dia belum memiliki uang.
Apakah kondisi-kondisi tersebut bisa melegalkan seseorang untuk pinjam uang di bank? Apakah sebenarnya hukum meminjam uang di bank? Terus, bagaimana jika meminjam uang di bank syariat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tesebut, maka seyogianya kita mengenal apa itu hakikat utang-piutang dalam Islam.
Hakitat utang-piutang
"Utang piutang", dalam agama kita, adalah 'memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam, dengan pengembalian di kemudian hari, sesuai perjanjian, dengan jumlah yang sama'. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pada asalnya, hukum utang-piutang adalah sunah bagi pemberi pinjaman, karena memberi pinjaman kepada orang yang membutuhkan adalah bentuk kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain yang tertindih kesulitan, termasuk perbuatan saling tolong-menolong antara umat manusia, yang sangat dianjurkan oleh Allah ta'ala, selama (dalam koridor) tolong-menolong dalam kebajikan.
Bahkan, utang-piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirundung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. Karena itu, meminjam (berutang) adalah perkara yang diperbolehkan, bukan termasuk meminta yang dimakruhkan, selama tidak berutang untuk perkara-perkara yang haram, seperti: narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya.
Adapun hukum memberi pinjaman terkadang bisa menjadi wajib, tatkala memberikan pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan, seperti: tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
Disyariatkannya utang-piutang adalah berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah:2)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa meringankan kesulitan seseorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya kelak pada hari kiamat; barang siapa mempermudah urusan seseorang yang sedang terhimpit kesusahan, niscaya Allah akan mempermudah urusannya kelak pada hari kiamat; dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim)
Pemberian pinjaman merupakan transaksi yang bertujuan untuk memberi uluran tangan kepada orang yang sedang terhimpit kesusahan, bukan bertujuan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, Islam mengharamkan memancing di air keruh, yaitu dengan mencari keuntungan dari piutang karena setiap keuntungan dari piutang adalah riba, dan riba diharamkan oleh syariat Islam.
Para ulama telah menegaskan hukum keuntungan yang didapat dari piutang, melalui sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu, “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan maka itu adalah riba.”
Kaidah ini menegaskan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari utang-piutang, baik berupa materi, jasa, atau yang lainnya adalah haram, karena semuanya termasuk riba yang jelas keharamannya.
Perlu dicamkan, keuntungan dari piutang yang diharamkan adalah keuntungan yang diberikan berdasarkan kesepakatan di dalamnya. Jika pihak peminjam memberikan tambahan kepada pemberi pinjaman tanpa kesepakatan sebelumnya (dan tanpa tuntutan dari pihak pemberi pinjaman), maka hal ini tidak mengapa, karena hal tersebut merupakan bentuk pembayaran utang yang bagus.
Berutang di bank?
Dari penjelasan tadi, bagaimana hukum meminjam uang di bank? Apakah sama antara hukum meminjam uang di bank konvensional dengan bank syariat?
Harus kita tanamkan dalam sanubari kita, bahwa Islam telah memberikan kaidah utama, yaitu: selama akadnya adalah utang-piutang maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba, dan riba itu diharamkan dalam Islam.
Ketika seseorang melakukan transaksi utang-piutang dengan bank, baik bank syariat atau pun bank konvensional, jika utang-piutang itu menghasilkan keuntungan maka keuntungan yang dihasilkan darinya adalah riba. Riba diharamkan dalam Islam, pada keadaan apa pun dan dalam bentuk apa pun; diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknat (dikutuk). Setiap orang yang ikut membantu keduanya, mulai dari penulis dan saksinya juga dilaknat.
Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya.’” (H.R. Muslim)
Islam dengan tegas mengharamkan riba, Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya bagian yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar dan selalu berbuat dosa.” (Q.S Al-Baqarah:275--276)
Jika seseorang beralasan bahwa dirinya tidak ikut memakan riba maka ingatlah firman Allah (yang artinya), “Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah:2)
Ayat ini dengan tegas melarang tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan orang yang meminjam uang ke bank berarti telah menolong pihak pemberi utang untuk memakan riba.
Mungkin, ada yang berpendapat, ketika seseorang meminjam uang di bank syariat maka sebenarnya dia tidak melakukan transaksi utang-piutang, namun dia melakukan transaksi mudharabah atau "bagi hasil".
Perlu ditanyakan, jenis transaksi apa yang dilakukan tersebut? Jika memang transaksi yang dilakukan adalah transaksi "bagi hasil" maka tidak mengapa. Namun, jika ternyata pada hakikatnya yang dia lakukan adalah transaksi utang-piutang, maka setiap keuntungan yang dihasilkan dari piutang adalah riba.
Nah, untuk membedakan antara transaksi utang-piutang dengan transaksi bagi hasil, bisa dicermati dengan dua hal di bawah ini:
  1. Jika bank yang mendatangkan barang, itu adalah perniagaan biasa. Akan tetapi, bila nasabah yang mendatangkan barang maka itu berarti akad utang-piutang.
  2. Bila bank tidak bersedia bertanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang diperoleh nasabah melalui akad itu (ketika terdapat kerusakan atau pun cacat pada barang), akad yang terjadi adalah utang-piutang. Akan tetapi, bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang didapatkan nasabah melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Dua kaidah ini berlaku pada bank konvensional dan bank syariat. Dengan demikian, boleh atau tidaknya meminjam uang di bank, baik bank konvensional maupun bank syariat, tergantung pada bentuk transaksi yang dilakukan nasabah dengan bank. Namun, mayoritas bank melakukan transaksi utang-piutang, bukan bagi hasil. Wallahu a’lam. (***)